A.
Mite
Penciptaan Dunia dan Asal-Usul Kedewaan
Sedikit sekali yang diketahui
mengenai masa prasejarah jepang, khususnya yang menyangkut asal-usul bangsa dan
bahasa jepang. Sekalipun demikian, para ahli pada umumnya sepakat bahwa sebelum
buddhisme dan kultur cina memasuki jepang, tradisi dan praktek-praktek
keagamaan jepang kuno berpusat pada lingkungan keluarga, belum terorganisasi, dan
hanya merupakan kumpulan tanpa nama dari berbagai bentuk pemujaan alam, arwah
nenek moyang, dan shamanisme.
Setiap suku memiliki dewa sendiri,
yang kadang- kadang dianggap sebagai nenek moyangnya. Para dewa digambarkan
sebagai manusia sebagaimana terlihat dalam mite-mite kuno tentang terjadinya
kepulauan jepang. Pada umumnya segala kewujudan yang menimbulkan perasaan segan
dan takut dianggap mengandung sifat-sifat kedewaan bahkan, benda-benda alam
seperti binatang, pohon, gunung dan sebagainya juga dijadikan objek pemujaan.
Semuanya disebut kami.
Kira-kira pada abad ke-4 masehi,
suku yamato berhasil menguasai wilayah jepang bagian tengah dan selatan.
Sejalan dengan itu, mite dan tradisi suku ini kemudian juga dianggap lebih
unggul daripada tradisi-tradisi suku-suku
lainnya. Lambat laun mite suku yamato terbeut menjadi dasar utama bagi
kepercayaan masyarakat jepang tentang asal-usul kedewaan dan kelebihan bangsa
jepang daripada bangsa-bangsa lain.
Uraian utama dalam mite suku yamato
tersebut adalah tentang asal-usul alam dan dunia ini, khususnya kepulauan
jepang. Pada mulanya, disebutkan langit dan bumi masih dalam keadaan menyatu
dan belum dapat dibeda-bedakan. Kemudian mulailah muncul perbedaan-perbedaan :
unsur-unsur ringan yang membentuk langit dan unsure-unsur berat yang membentuk
bumi.
Dari awan putih yang terletak
diantara kedua unsure tersebut muncul 3 dewa, yang disebut 3 kami pencipta. Kemudian muncul pula 2
dewa yang selanjutnya memeperoleh perhatian dan tempat istimewa dalam agama
Shinto, yaitu dewa Izanagi dan dewi Izanami. Keduanya menciptakan kepulauan
jepang lengkap dengan dewanya, seperti:
·
Dewa bumi
·
Dewa air
·
Dewa gunung, dsb
Dan alat-alat penting lainnya yang
terdapat di alam ini. Setelah melahirkan dewa api, Izanami meninggal dunia, kemudian menjadi dewi Tanahyomi, tempat orang-orang yang telah mati. Ketika Izanagi pergi mengunjungi istrinya yang
sudah mati itu, ia melanggar suatu pantangan sehingga menjadi kotor dan
berdosa. Oleh karena itu ia kemudian pergi ke laut untuk melakukan upacara pensucian.
Ketika sedang membersihkan diri di air, dari matanya sebelah kiri terjadi dewi
matahari, Amaterasu, dan dari air
matanya sebelah kanan terjadi dewi bulan, Tsukiyomi,
sementara dari yang dipergunakan untuk membersihkan hidungnya terjadi dewa
laut dan gelombang.
Dewi Amaterasu
memiliki seorang cucu yang bernama Ninigimikoto,
yang ditugaskannya untuk memerintah dunia disertai jaminan bahwa ia akan
memerintah dunia untuk selama-lamanya. Ia turun didaerah Kyushu. Putranya, Jimmutenn,
adalah kepala suku Yamato yang pertama dan juga kaisar jepang pertama kali.
Dari garis inilah kemudian agama Shinto menanamkan kepercayaan diakalangan
rakyat jepang bhwa negeri mereka senantiasa diperintah oleh satu dinasti
kekaisaran tunggal sejak awal mula sejarahnya sampai sekarang. Dalam garis ini
pula para kaisar jepang menyatakan asal-usul mereka.
Dengan demikian, kira-kira mulai saat
suku yamato tersebut berkuasa, kultus dan tradisi keagamaan bangsa jepang yang
beraneka ragam sedikit demi sedikit mulai dibersatukan dan diorganisasikan
kedalam suatu bentuk pemerintahan agama dengan suatu system ritus yang
dipusatkan pada Dewi Matahari, meskipun masih dalam keadaan tanpa nama.[1]
Shinto
adalah kata majemuk daripada “Shin” dan “To”. Arti kata “Shin”
adalah “roh” dan “To” adalah “jalan”. Jadi “Shinto” mempunyai arti
lafdziah “jalannya roh”, baik roh-roh orang yang telah meninggal maupun roh-roh
langit dan bumi. Kata “To” berdekatan
dengan kata “Tao” dalam taoisme yang
berarti “jalannya Dewa” atau “jalannya bumi dan langit”. Sedang kata “Shin” atau “Shen” identik dengan kata “Yin”
dalam taoisme yang berarti gelap, basah, negatif dan sebagainya ; lawan dari
kata “Yang”. Dengan melihat hubungan
nama “Shinto” ini, maka kemungkinan besar Shintoisme dipengaruhi faham
keagamaan dari Tiongkok.[2]
Nama asli agama itu ialah Kami no Michi
yang bermakna jalan dewa. Pada saat Jepang berbenturan dengan kebudayaan
Tiongkok maka nama asli itu terdesak kebelakang oleh nama baru, yaitu Shin-To.
Nama baru itu perubahan bunyi dari Tien-Tao, yang bermakna jalan langit.
Perubahan bunyi iitu serupa halnya dengan aliran Chan, sebuah sekte agama Budha
mazhab Mahayana di Tiongkok, menjadi aliran Zen sewaktu berkembang di Jepang.[3]
Sedangkan
Shintoisme adalah faham yang berbau keagamaan yang khusus dianut oleh bangsa
Jepang sampai sekarang. Shintoisme merupakan filsafat religius yang bersifat
tradisional sebagai warisan nenek moyang bangsa Jepang yang dijadikan pegangan
hidup. Tidak hanya rakyat Jepang yang harus menaati ajaran Shintoisme melainkan
juga pemerintahnya juga harus menjadi pewaris serta pelaksana agama dari ajaran
ini.[4]
Pada
abad ke-7 Shinto masih berpegang teguh pada sifatnya yang sederhana dan corak
keagamaannya yang animistis. Akan tetapi karena saat itu pula bangsa jepang
mulai membayangkan sebagai sebuah Negara kekaisaran yang mampu menyaingi kultur
bangsa Cina yang sudah lebih dulu maju, dan agama Shinto memeberi kemungkinan
diciptakannya suatu kultus nasional seperti yang pernah dilakukan oleh para
penguasa suku Yamato jauh sebelumnya, maka pemujaan terhadap Dewi Matahari yang
pernah dikembangkan oleh suku tersebut dihidupkan dan digalakkan kembali.[5]
B.
AJARAN
DAN KEPERCAYAAN SHINTO
v K
a m i
Istilah
“Kami” dalam agama Shinto dapat diartikan dengan “di atas” atau “unggul”,
sehingga apabila dimaksudkan untuk menunjukkan suatu kekuatan spiritual, maka
kata “Kami” dapat dialih bahasakan (diartikan) dengan “Dewa” (Tuhan, God dan
sebagainya). Jadi bagi bangsa Jepang kata “Kami” tersebut berarti suatu objek
pemujaan yang berbeda pengertiannya dengan pengertian objek-objek pemujaan yang
ada dalam agama lain.[6]
Istilah Kami diterapkan terhadap kekuatan dan objek-objek tertentu, tanpa
membedakan apakah objek tersebut adalah benda hidup atau mati, bersifat baik
atau buruk. Semua yang memiliki sifat-sifat misteriusdan menimbulkan rasa segan
dan takut dapat dianggap sebagai Kami.
“Pada mulanya istilah Kami diterapkan terhadap dewa-dewa
langit dan bumi yang disebutkan dalam dokumen-dokumen kuno tertulis, dan
terhadap spirit-spirit (mitama) yang
mendiami tempat-tempat suci, tempat mereka dipuja. Disamping itu, bukan hanya
manusia, tetapi juga burung-burung, binatang-binatang, tetumbuhan dan
pohon-pohon, laut dan gunung-gunung, dan semua benda lain, apapun bentuknya
yang patut ditakuti dan dipuja karena memiliki kekuasaan yang tinggi dan
luarbiasa, semuanya disebut kami. Kami
juga tidak memerlukan sifat-sifat istimewa karena memiliki kemuliaan, kebaikan,
atau kegunaan yang khusus. Segala kewujudan yang jahat dan mengerikan juga
disebut Kami apabila merupakan objek-objek yang pada
umumnya ditakuti.” -Motoori Norinaga[7]
Dari kutipan diatas dapat diketahui
adanya 4 hal yang mendasari konsepsi kedewaan dalam agama Shinto, yaitu :
1. Dewa-dewa
tersebut pada umumnya merupakan personifikasi gejala-gejala alam.
2. Dewa-dewa
tersebut dapat pula berarti manusia
3. Dewa-dewa
tersebut dianggap mempunyai spirit yang mendiami tempat-tempat di bumi dan
mempengaruhi kehidupan manusia.
4. Pendekatan
manusia terhadap dewa-dewa tersebut bertitik-tolak dari perasaan segan dan
takut.[8]
v Ajaran Tentang Manusia
Hubungan
kami dengan manusia terjalin suatu
hubungan antara orangtua dan anak, atau antara nenek moyang dengan
keturunannya. Dengan demikian “manusia adalah putra kami”. Ungkapan ini memiliki 2 macam arti :
1) Kehidupan manusia berasal dari kami, sehingga dianggap suci.
2) Kehidupan sehari-hari adalah
pemberian dari kami.
Dalam
agama Shinto, manusia memiliki banyak arti, diantaranya :
·
Hito[9]
·
aohito-gusa[10]
·
ame no masu-jito[11]
v Ajaran Tentang Dunia
Agama Shinto adalah termasuk tipe agama “lahir satu kali”.
Dalam arti, memandang dunia ini sebagai satu-satunya tempat kehidupan bagi
manusia. Meskipun demikian, dalam pemikiran Shinto ada 3 macam dunia, yaitu :
3. Tokoyono-kuni, yang berarti “kehidupan yang
abadi”, ”negeri yang jauh diseberang lautan”, atau “kegelapan yang abadi”. [14]
Ketiga dunia tersebut sering pula disebut dengan kakuriyo (dunia yang tersembunyi), sementara
dunia tempat tinggal manusia hidup disebut ut-sushiyo (dunia yang terlihat atau
dunia yang terbuka).
v Ritual Keagamaan
Mengenai
tata cara sembahyang atau doa dalam kuil Shinto sangat sederhana yaitu
melemparakan sekeping uang logam sebagai sumbangan di depan altar, mencakupkan
kedua tangan di dada dan selesai. Jadi semua proses berdoa yang dilakukan
dengan berdiri ini tidak lebih dari sepuluh detik. Doa dilakukan tidak mengenal
hari atau jam khusus jadi bebas dilakukan kapan saja.
C.
KITAB
SUCI AGAMA SHINTO
Dalam agama Shinto ada dua kitab suci
yang tertua, tetapi di susun sepuluh abad sepeninggal jimmi temmo (660 SM),
kaisar jepang yang pertama. Dan dua buah lagi di susun pada masa yang lebih
belakangan, keempat empat kitab tiu adalah sebagi berikut :
A. Kojiki
- yang bermakna : catatan peristiwa purbakala. Disusun pada tahun 712 masehi,
sesudah kekaisaran jepang berkedudukan di nara, yang ibukota nara itu di bangun
pada tahun 710 masehi menuruti model ibukota changan di tiongkok.
B. Nihonji
- yang bermakna : riwayat jepang. Di
susun pada tahun 720 masehi oleh penulis yang sama degan di Bantu oelh seorang
pangeran di istana.
C. Yeghisiki
- yang bermakna : berbagai lembaga pada
masa yengi, kitab ini disusun pada abad kesepuluh masehi terdiri atas 50 bab.
Sepuluh bab yang pertama berisikan ulasan kisah kisah yang bersifat kultus,
disusuli dengan peristiwa selanjutnya sampai abad kesepuluh masehi, tetapi inti
isinya adalah 25 norito yakni do’a do’a pujaan yang sangat panjang pada
berbagai upacara keagamaan.
D. Manyosiu
- yang bermakan : himpunan sepuluh ribu
daun, berisikan bunga rampai, yang terdiri atas 4496 buah sajak, disusun antara
abad kelima dengan abad kedelapan masehi.
D.
SINKRETISME AJARAN SHINTO DAN BUDDHA
Sinkretisme
|
Shinto
|
Buddha
|
tata
cara doa di kuil
|
mencakupkan
tangan dengan keras sehingga menghasilkan suara sebanyak dua kali (mirip
tepuk tangan).
|
Buddha
tangan dicakupkan ke depan dada dengan pelan, hening dan tanpa suara
|
Pandangan
kehidupan
|
Shinto sebagai kehidupan dunia
|
Budha sebagai kehidupan akhirat.
|
Bangunan
kuil
|
Kuil
Shinto sebelum bertemu dengan Buddha adalah bersifat non-permanen (akan
dibangun kembali setiap 20 tahun) dan tidak ada ruangan khusus untuk
penempatan patung.
|
Kuil
Buddha permanen dan terdapat ruangan khusus penempatan patung-patung dewa
yang disembah.
|
Seni
|
Samurai
dan Yabusame
|
Ikebana,
zen garden, ritual minum teh
|
Upacara
|
Shinto
sangat mensakralkan setiap ritual dalam bentuk upacara-upacara. Hal inilah
yang sangat mempengaruhi kebudayaan dan tradisi bangsa jepang.
|
Tidak
banyak mempengaruhi dalam hal upacara. Justru Buddha di jepang banyak
dipengaruhi oleh Shinto dalam hal upacara.
|
[1] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia,hal.233-235
[2] http://noerhayati.wordpress.com/2008/09/24/agama-shinto-sejarah-dan-ajarannya/ . Dikutip
Maret 18,2013, pada 18:54
[4] http://noerhayati.wordpress.com/2008/09/24/agama-shinto-sejarah-dan-ajarannya/ Dikutip Maret
18,2013, pada 18:54
[5] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia,hal.238
[6] http://noerhayati.wordpress.com/2008/09/24/agama-shinto-sejarah-dan-ajarannya/ . Dikutip
Maret 18,2013, pada 18:54
[7] Seorang sarjana
dan pembaharu Shinto di zaman modern
[8] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia,hal.254-255
[12] yaitu dunia
menjadi tempat tinggal para dewa langit.
[13] yang dibayangkan
sebagai dunia yang gelap, kotor, jelek,
dan menyengsarakan.
[14] yaitu sebuah dunia yang dianggap penuh kenikmatan dan
kedamaian, tempat tinggal arwah orang-orang yang meninggal dunia dalam keadaan
suci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar