Kamis, 23 Mei 2013

Sekilas Agama Shinto Di Jepang



A.   Mite Penciptaan Dunia dan Asal-Usul Kedewaan
Sedikit sekali yang diketahui mengenai masa prasejarah jepang, khususnya yang menyangkut asal-usul bangsa dan bahasa jepang. Sekalipun demikian, para ahli pada umumnya sepakat bahwa sebelum buddhisme dan kultur cina memasuki jepang, tradisi dan praktek-praktek keagamaan jepang kuno berpusat pada lingkungan keluarga, belum terorganisasi, dan hanya merupakan kumpulan tanpa nama dari berbagai bentuk pemujaan alam, arwah nenek moyang, dan shamanisme.
Setiap suku memiliki dewa sendiri, yang kadang- kadang dianggap sebagai nenek moyangnya. Para dewa digambarkan sebagai manusia sebagaimana terlihat dalam mite-mite kuno tentang terjadinya kepulauan jepang. Pada umumnya segala kewujudan yang menimbulkan perasaan segan dan takut dianggap mengandung sifat-sifat kedewaan bahkan, benda-benda alam seperti binatang, pohon, gunung dan sebagainya juga dijadikan objek pemujaan. Semuanya disebut kami.
Kira-kira pada abad ke-4 masehi, suku yamato berhasil menguasai wilayah jepang bagian tengah dan selatan. Sejalan dengan itu, mite dan tradisi suku ini kemudian juga dianggap lebih unggul daripada tradisi-tradisi suku-suku  lainnya. Lambat laun mite suku yamato terbeut menjadi dasar utama bagi kepercayaan masyarakat jepang tentang asal-usul kedewaan dan kelebihan bangsa jepang daripada bangsa-bangsa lain.
Uraian utama dalam mite suku yamato tersebut adalah tentang asal-usul alam dan dunia ini, khususnya kepulauan jepang. Pada mulanya, disebutkan langit dan bumi masih dalam keadaan menyatu dan belum dapat dibeda-bedakan. Kemudian mulailah muncul perbedaan-perbedaan : unsur-unsur ringan yang membentuk langit dan unsure-unsur berat yang membentuk bumi.
Dari awan putih yang terletak diantara kedua unsure tersebut muncul 3 dewa, yang disebut 3 kami pencipta. Kemudian muncul pula 2 dewa yang selanjutnya memeperoleh perhatian dan tempat istimewa dalam agama Shinto, yaitu dewa Izanagi dan dewi Izanami. Keduanya menciptakan kepulauan jepang lengkap dengan dewanya, seperti:
·         Dewa bumi
·         Dewa air
·         Dewa gunung, dsb
Dan alat-alat penting lainnya yang terdapat di alam ini. Setelah melahirkan dewa api, Izanami meninggal dunia, kemudian menjadi dewi Tanahyomi, tempat orang-orang yang telah mati. Ketika Izanagi pergi mengunjungi istrinya yang sudah mati itu, ia melanggar suatu pantangan sehingga menjadi kotor dan berdosa. Oleh karena itu ia kemudian pergi ke laut untuk melakukan upacara pensucian. Ketika sedang membersihkan diri di air, dari matanya sebelah kiri terjadi dewi matahari, Amaterasu, dan dari air matanya sebelah kanan terjadi dewi bulan, Tsukiyomi, sementara dari yang dipergunakan untuk membersihkan hidungnya terjadi dewa laut dan gelombang.
Dewi Amaterasu memiliki seorang cucu yang bernama Ninigimikoto, yang ditugaskannya untuk memerintah dunia disertai jaminan bahwa ia akan memerintah dunia untuk selama-lamanya. Ia turun didaerah Kyushu. Putranya, Jimmutenn, adalah kepala suku Yamato yang pertama dan juga kaisar jepang pertama kali. Dari garis inilah kemudian agama Shinto menanamkan kepercayaan diakalangan rakyat jepang bhwa negeri mereka senantiasa diperintah oleh satu dinasti kekaisaran tunggal sejak awal mula sejarahnya sampai sekarang. Dalam garis ini pula para kaisar jepang menyatakan asal-usul mereka.
Dengan demikian, kira-kira mulai saat suku yamato tersebut berkuasa, kultus dan tradisi keagamaan bangsa jepang yang beraneka ragam sedikit demi sedikit mulai dibersatukan dan diorganisasikan kedalam suatu bentuk pemerintahan agama dengan suatu system ritus yang dipusatkan pada Dewi Matahari, meskipun masih dalam keadaan tanpa nama.[1]
Shinto adalah kata majemuk daripada “Shin” dan “To”. Arti kata “Shin” adalah “roh” dan “To” adalah “jalan”. Jadi “Shinto” mempunyai arti lafdziah “jalannya roh”, baik roh-roh orang yang telah meninggal maupun roh-roh langit dan bumi. Kata “To” berdekatan dengan kata “Tao” dalam taoisme yang berarti “jalannya Dewa” atau “jalannya bumi dan langit”. Sedang kata “Shin” atau “Shen” identik dengan kata “Yin” dalam taoisme yang berarti gelap, basah, negatif dan sebagainya ; lawan dari kata “Yang”. Dengan melihat hubungan nama “Shinto” ini, maka kemungkinan besar Shintoisme dipengaruhi faham keagamaan dari Tiongkok.[2]
Nama asli agama itu ialah Kami no Michi yang bermakna jalan dewa. Pada saat Jepang berbenturan dengan kebudayaan Tiongkok maka nama asli itu terdesak kebelakang oleh nama baru, yaitu Shin-To. Nama baru itu perubahan bunyi dari Tien-Tao, yang bermakna jalan langit. Perubahan bunyi iitu serupa halnya dengan aliran Chan, sebuah sekte agama Budha mazhab Mahayana di Tiongkok, menjadi aliran Zen sewaktu berkembang di Jepang.[3]
Sedangkan Shintoisme adalah faham yang berbau keagamaan yang khusus dianut oleh bangsa Jepang sampai sekarang. Shintoisme merupakan filsafat religius yang bersifat tradisional sebagai warisan nenek moyang bangsa Jepang yang dijadikan pegangan hidup. Tidak hanya rakyat Jepang yang harus menaati ajaran Shintoisme melainkan juga pemerintahnya juga harus menjadi pewaris serta pelaksana agama dari ajaran ini.[4]
Pada abad ke-7 Shinto masih berpegang teguh pada sifatnya yang sederhana dan corak keagamaannya yang animistis. Akan tetapi karena saat itu pula bangsa jepang mulai membayangkan sebagai sebuah Negara kekaisaran yang mampu menyaingi kultur bangsa Cina yang sudah lebih dulu maju, dan agama Shinto memeberi kemungkinan diciptakannya suatu kultus nasional seperti yang pernah dilakukan oleh para penguasa suku Yamato jauh sebelumnya, maka pemujaan terhadap Dewi Matahari yang pernah dikembangkan oleh suku tersebut dihidupkan dan digalakkan kembali.[5]

B.   AJARAN DAN KEPERCAYAAN SHINTO
v  K a m i
Istilah “Kami” dalam agama Shinto dapat diartikan dengan “di atas” atau “unggul”, sehingga apabila dimaksudkan untuk menunjukkan suatu kekuatan spiritual, maka kata “Kami” dapat dialih bahasakan (diartikan) dengan “Dewa” (Tuhan, God dan sebagainya). Jadi bagi bangsa Jepang kata “Kami” tersebut berarti suatu objek pemujaan yang berbeda pengertiannya dengan pengertian objek-objek pemujaan yang ada dalam agama lain.[6]
Istilah Kami diterapkan terhadap kekuatan dan objek-objek tertentu, tanpa membedakan apakah objek tersebut adalah benda hidup atau mati, bersifat baik atau buruk. Semua yang memiliki sifat-sifat misteriusdan menimbulkan rasa segan dan takut dapat dianggap sebagai Kami.
“Pada mulanya istilah Kami diterapkan terhadap dewa-dewa langit dan bumi yang disebutkan dalam dokumen-dokumen kuno tertulis, dan terhadap spirit-spirit (mitama) yang mendiami tempat-tempat suci, tempat mereka dipuja. Disamping itu, bukan hanya manusia, tetapi juga burung-burung, binatang-binatang, tetumbuhan dan pohon-pohon, laut dan gunung-gunung, dan semua benda lain, apapun bentuknya yang patut ditakuti dan dipuja karena memiliki kekuasaan yang tinggi dan luarbiasa, semuanya disebut kami. Kami juga tidak memerlukan sifat-sifat istimewa karena memiliki kemuliaan, kebaikan, atau kegunaan yang khusus. Segala kewujudan yang jahat dan mengerikan juga disebut Kami  apabila merupakan objek-objek yang pada umumnya ditakuti.” -Motoori Norinaga[7]
Dari kutipan diatas dapat diketahui adanya 4 hal yang mendasari konsepsi kedewaan dalam agama Shinto, yaitu :
1.      Dewa-dewa tersebut pada umumnya merupakan personifikasi gejala-gejala alam.
2.      Dewa-dewa tersebut dapat pula berarti manusia
3.      Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit yang mendiami tempat-tempat di bumi dan mempengaruhi kehidupan manusia.
4.      Pendekatan manusia terhadap dewa-dewa tersebut bertitik-tolak dari perasaan segan dan takut.[8]


v  Ajaran Tentang Manusia
Hubungan kami dengan manusia terjalin suatu hubungan antara orangtua dan anak, atau antara nenek moyang dengan keturunannya. Dengan demikian “manusia adalah putra kami”. Ungkapan ini memiliki 2 macam arti :
1)      Kehidupan manusia berasal dari kami, sehingga dianggap suci.
2)      Kehidupan sehari-hari adalah pemberian dari kami.
Dalam agama Shinto, manusia memiliki banyak arti, diantaranya :
·         Hito[9]
·         aohito-gusa[10]
·         ame no masu-jito[11]
v  Ajaran Tentang Dunia
Agama Shinto adalah termasuk tipe agama “lahir satu kali”. Dalam arti, memandang dunia ini sebagai satu-satunya tempat kehidupan bagi manusia. Meskipun demikian, dalam pemikiran Shinto ada 3 macam dunia, yaitu :
1.      Tamano-hara, yang berarti “tanah langit yang tinggi”.[12]
2.      Yomino-kuni, yakni tempat orang-orang yang sudah meningal dunia.[13]
3.      Tokoyono-kuni, yang berarti “kehidupan yang abadi”, ”negeri yang jauh diseberang lautan”, atau “kegelapan yang abadi”. [14]
Ketiga dunia tersebut sering pula disebut dengan kakuriyo (dunia yang tersembunyi), sementara dunia tempat tinggal manusia hidup disebut ut-sushiyo (dunia yang terlihat atau dunia yang terbuka).

v  Ritual Keagamaan
Mengenai tata cara sembahyang atau doa dalam kuil Shinto sangat sederhana yaitu melemparakan sekeping uang logam sebagai sumbangan di depan altar, mencakupkan kedua tangan di dada dan selesai. Jadi semua proses berdoa yang dilakukan dengan berdiri ini tidak lebih dari sepuluh detik. Doa dilakukan tidak mengenal hari atau jam khusus jadi bebas dilakukan kapan saja.
C.   KITAB SUCI AGAMA SHINTO
Dalam agama Shinto ada dua kitab suci yang tertua, tetapi di susun sepuluh abad sepeninggal jimmi temmo (660 SM), kaisar jepang yang pertama. Dan dua buah lagi di susun pada masa yang lebih belakangan, keempat empat kitab tiu adalah sebagi berikut :
A.    Kojiki - yang bermakna : catatan peristiwa purbakala. Disusun pada tahun 712 masehi, sesudah kekaisaran jepang berkedudukan di nara, yang ibukota nara itu di bangun pada tahun 710 masehi menuruti model ibukota changan di tiongkok.
B.     Nihonji -  yang bermakna : riwayat jepang. Di susun pada tahun 720 masehi oleh penulis yang sama degan di Bantu oelh seorang pangeran di istana.
C.     Yeghisiki -  yang bermakna : berbagai lembaga pada masa yengi, kitab ini disusun pada abad kesepuluh masehi terdiri atas 50 bab. Sepuluh bab yang pertama berisikan ulasan kisah kisah yang bersifat kultus, disusuli dengan peristiwa selanjutnya sampai abad kesepuluh masehi, tetapi inti isinya adalah 25 norito yakni do’a do’a pujaan yang sangat panjang pada berbagai upacara keagamaan.
D.    Manyosiu -  yang bermakan : himpunan sepuluh ribu daun, berisikan bunga rampai, yang terdiri atas 4496 buah sajak, disusun antara abad kelima dengan abad kedelapan masehi.
D.   SINKRETISME AJARAN SHINTO DAN BUDDHA
Sinkretisme
Shinto
Buddha
tata cara doa di kuil
mencakupkan tangan dengan keras sehingga menghasilkan suara sebanyak dua kali (mirip tepuk tangan).

Buddha tangan dicakupkan ke depan dada dengan pelan, hening dan tanpa suara
Pandangan kehidupan
Shinto sebagai kehidupan dunia
Budha sebagai kehidupan akhirat.
Bangunan kuil
Kuil Shinto sebelum bertemu dengan Buddha adalah bersifat non-permanen (akan dibangun kembali setiap 20 tahun) dan tidak ada ruangan khusus untuk penempatan patung.
Kuil Buddha permanen dan terdapat ruangan khusus penempatan patung-patung dewa yang disembah.
Seni
Samurai dan Yabusame
Ikebana, zen garden, ritual minum teh
Upacara







Shinto sangat mensakralkan setiap ritual dalam bentuk upacara-upacara. Hal inilah yang sangat mempengaruhi kebudayaan dan tradisi bangsa jepang.
Tidak banyak mempengaruhi dalam hal upacara. Justru Buddha di jepang banyak dipengaruhi oleh Shinto dalam hal upacara.


[1] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia,hal.233-235
[5] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia,hal.238
[7] Seorang sarjana dan pembaharu Shinto di zaman modern
[8] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia,hal.254-255
[9] tempat tinggal spirit
[10] (manusia-rumput hijau) Dalam bahasa Jepang kuno
[11] (manusia- langit-yang berkembang)
[12] yaitu dunia menjadi tempat tinggal para dewa langit.
[13] yang dibayangkan sebagai dunia yang  gelap, kotor, jelek, dan menyengsarakan.
[14] yaitu sebuah dunia yang dianggap penuh kenikmatan dan kedamaian, tempat tinggal arwah orang-orang yang meninggal dunia dalam keadaan suci.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar